"”KH.NASARUDDIN UMAR: Ulama Moderat yang Konsisten dalam Menjaga Akidah Wasathiyah” Oleh: Munawir Kamaluddin Fenomena derasnya arus zaman, di tengah gelombang pertentangan yang tak henti-hentinya menghantam sendi kehidupan, lahirlah sosok yang menghadirkan kesejukan di tengah panasnya perdebatan dan perbedaan. Bagai embun yang menetes perlahan di padang gersang, ia datang membawa pesan damai,
menyulam harmoni di antara perbedaan, dan merajut kasih sayang dalam setiap helaan napas perjuangannya. Dialah Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA, seorang ulama yang tak hanya memahami Islam dalam teks, tetapi menghidupkannya dalam realitas konkrit. Ia terlahir di tanah Bugis, di bawah langit Sulawesi yang memancarkan semangat perjuangan, ia tumbuh dalam pelukan ilmu dan adab. Sejak belia, ia telah
meniti jalan panjang, menapaki tangga-tangga hikmah dengan penuh keikhlasan dan ketekunan. Menurutnya, Islam bukan sekadar ajaran yang dihafal, bukan sekadar hukum yang diterapkan dengan kaku, tetapi cahaya yang menerangi akal, jiwa dan hati. Baginya ,membaca Al-Qur’an bukan hanya dengan lisan, tetapi dengan hatinya yang penuh cinta. Ia menghafal hadits bukan hanya dengan ingatan, tetapi dengan
amal dan tindakan. Kesungguhannya dalam mendalami agama membawanya menyusuri lorong-lorong ilmu dari pelosok pesantren hingga puncak akademik di berbagai penjuru dunia. Dari Pesantren As’adiyah Sengkang, tempat ia pertama kali merasakan manisnya ilmu, hingga universitas-universitas terkemuka di Eropa dan Amerika, ia terus menggali pemahaman yang lebih dalam tentang Islam dan berbagai agama-agama
lain. Dalam pemahannya bahwa Islam bukan agama yang eksklusif, bukan ajaran yang menutup diri dari peradaban lain, tetapi agama yang membawa rahmat bagi semesta alam. Menurutnya , Islam adalah lentera yang menuntun manusia menuju kebaikan dengan kelembutan, bukan dengan pemaksaan kehendak. Beliau menolak dakwah yang penuh amarah, menepis fatwa-fatwa yang lahir dari kebencian, dan menentang ajaran
yang menghalalkan permusuhan. Seperti Rasulullah SAW. yang selalu mengulurkan tangan persahabatan bahkan kepada mereka yang memusuhinya, Nasaruddin Umar menghadirkan wajah Islam yang penuh kasih sayang dan kelemah lembutan. Dalam situasi dunia yang semakin terpecah oleh sekat-sekat perbedaan, ia hadir sebagai jembatan. Ia menyatukan yang tercerai, mempertemukan yang berselisih, dan mendamaikan konflik
yang berbenturan. Dalam posisinya sebagai ulama yang teguh dalam prinsip wasathiyah (moderasi), ia mengajarkan bahwa Islam bukan tentang siapa yang paling keras berteriak, tetapi tentang siapa yang paling tulus mengasihi dan menyayangi. Dakwahnya bukan dengan nada tinggi, bukan dengan retorika penuh ancaman, tetapi dengan kelembutan yang menyejukkan jiwa. Saat dunia Islam dirundung badai ekstremisme
dan fanatisme buta, ia memilih jalan berbeda. Ia tidak tergoda untuk membalas kebencian dengan kebencian, tetapi menjawabnya dengan pemahaman yang dalam dan kasih sayang yang luas serta merata. Menurutnya,Islam bukan hanya tentang benar dan salah, tetapi tentang bagaimana menyampaikan kebenaran dengan cara yang indah. Ia memahami bahwa kebenaran yang disampaikan dengan kasar hanya akan menimbulkan
perlawanan, sedangkan kebenaran yang disampaikan dengan kelembutan akan mengetuk hati yang paling keras sekalipun. Sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal, ia menjadikan rumah ibadah terbesar di Indonesia itu sebagai simbol persatuan, tempat di mana setiap orang dapat merasakan kesejukan Islam yang sesungguhnya. Di sana, ia membuka pintu bagi siapa saja, muslim maupun non-muslim, ulama maupun akademisi,
politisi maupun rakyat jelata, untuk berdialog, mencari titik temu, dan membangun harmoni. Sebagai ulama universalis, ia tidak mengenal batas-batas yang memisahkan manusia. Ia menjelajah dunia untuk menyampaikan pesan Islam yang rahmatan lil ‘alamin, dari ruang-ruang akademik hingga forum-forum internasional. Di tengah perbedaan agama, budaya, dan ideologi, ia tetap teguh pada prinsipnya: Islam
harus hadir sebagai cahaya, bukan sebagai bara api yang membakar. Ia adalah cerminan dari sabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya Allah Maha Lembut dan menyukai kelembutan dalam segala urusan." (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam setiap langkahnya, ia membawa kelembutan itu, melembutkan hati yang keras, menyatukan yang tercerai, dan menyejukkan yang panas. Di saat dunia terjebak dalam polarisasi, di
saat manusia lebih suka mencari musuh daripada sahabat, Nasaruddin Umar datang sebagai pelita yang menerangi jalan. Ia membuktikan bahwa menjadi muslim yang taat tidak berarti harus menjadi keras, bahwa menjadi penjaga akidah tidak berarti harus menjadi kaku, dan bahwa menjadi ulama tidak berarti harus berdiri di menara gading tanpa menyentuh realitas. Dan kini, di usianya yang semakin matang, namanya
bukan hanya menjadi bagian dari sejarah, tetapi juga bagian dari inspirasi yang tak lekang oleh waktu. Ia telah menorehkan jejak sebagai penjaga akidah yang moderat, pejuang dakwah yang santun, dan pelopor Islam yang damai. Bagi siapa pun yang ingin melihat Islam dalam wajahnya yang paling indah, bagi siapa pun yang ingin merasakan kelembutan ajarannya, dan bagi siapa pun yang ingin belajar
bagaimana menjadi seorang muslim yang rahmatan lil ‘alamin, maka lihatlah Nasaruddin Umar, dan temukan Islam dalam kebijaksanaannya, dalam senyumnya, dalam tutur katanya yang teduh, dan dalam akhlaknya yang sejuk seperti embun di pagi hari. Cahaya yang Bersinar Takkan Redup oleh Tuduhan Di tengah gemerlap keberhasilan, selalu ada bayangan yang mencoba meredupkan sinarnya. Di saat seseorang
menapaki tangga prestasi, selalu ada angin fitnah yang berusaha menggoyahkan pijakannya. Namun, seperti halnya matahari yang tetap menyinari meski awan hitam mencoba menutupinya, kebenaran takkan pudar hanya karena tuduhan. Inilah yang terjadi pada Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA, seorang ulama yang telah mengabdikan dirinya bagi Islam dan kemanusiaan, seorang pemimpin yang mengulurkan tangannya
bagi persatuan dan keharmonisan, seorang cendekiawan yang membawa Islam ke panggung keagungan dengan kebijaksanaan dan ketulusan. Ketika dunia mengakui prestasinya, ketika kerja kerasnya membuahkan apresiasi sebagai menteri paling berkinerja terbaik, justru segelintir suara sumbang mencoba mengecilkan namanya. Mereka menuduhnya sebagai "kaki tangan Yahudi," sebagai "antek musuh
Islam," seolah keberhasilannya adalah sebuah kejahatan yang harus dicurigai, bukan prestasi yang patut dibanggakan. Mengapa Keberhasilan Selalu Diuji oleh Fitnah? Sejarah telah mengajarkan kepada kita bahwa semakin tinggi seseorang melangkah, semakin kencang pula angin yang berusaha menjatuhkannya. Nabi Muhammad SAW. manusia paling mulia, bahkan dituduh sebagai tukang sihir dan pemecah belah
masyarakat, padahal beliau adalah pembawa rahmat bagi seluruh alam. Imam Syafi’i, seorang mujtahid besar, dituduh sebagai pengkhianat karena pandangan-pandangannya yang moderat dan rasional. Imam Al-Ghazali, sang Hujjatul Islam, difitnah sebagai perusak tatanan keilmuan karena pemikirannya yang begitu dalam. Begitulah hukum alam. Orang-orang besar akan selalu menjadi sasaran tuduhan, bukan karena
kesalahan mereka, tetapi karena ada yang merasa terguncang oleh cahaya kebenaran yang mereka bawa. Nasaruddin Umar bukanlah pengecualian. Keberhasilannya dalam membangun Islam yang damai, moderat, dan berwibawa, justru membuatnya menjadi target bagi mereka yang menginginkan perpecahan. Mereka yang hidup dari kebencian tentu tidak menyukai ulama yang menyerukan kedamaian. Mereka yang ingin
mempertajam sekat-sekat perbedaan tentu tidak menghendaki seorang jembatan yang menyatukan umat. Prestasi yang Berbicara, Bukan Tuduhan yang Tak Berdasar Jika seseorang ingin menilai Nasaruddin Umar, jangan lihat dari bisikan fitnah, tetapi lihatlah dari jejak karyanya. Ia menjaga akidah umat dengan dakwah yang sejuk dan penuh kebijaksanaan. Ia mengokohkan nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin
di tengah gelombang ekstremisme dan fanatisme. Ia menjadi juru damai yang menyatukan, bukan memecah belah; mendekatkan, bukan menjauhkan. Ia mendapat pengakuan, bukan hanya dari umat Islam, tetapi juga dari berbagai lapisan masyarakat, karena perannya dalam membangun harmoni dan toleransi. Lalu, dengan semua fakta ini, di mana letak pengkhianatan yang dituduhkan kepadanya? Apakah musuh Islam akan
memberikan penghargaan kepada seseorang yang justru semakin memperkokoh Islam? Dunia yang Penuh Paradoks: Mengapa yang Berjasa Malah Dicurigai? Ironis memang. Seharusnya prestasi dihargai, bukan dicurigai. Seharusnya keberhasilan didukung, bukan dijegal. Tetapi, beginilah dunia: terkadang lebih cepat percaya pada kebohongan yang nyaman daripada kebenaran yang menuntut pemikiran jernih. Di saat
Nasaruddin Umar bekerja keras membangun keharmonisan, ada yang justru menghabiskan waktunya untuk menyebar syak wasangka. Di saat ia berusaha meneguhkan Islam dengan kelembutan dan hikmah, ada yang malah sibuk melabelinya dengan tuduhan keji. Namun, seperti kata pepatah Arab: إذا جاء موسى، ذهب السحر "Jika cahaya Musa telah datang, maka sihir akan sirna." Begitu pula
dengan fitnah. Sebesar apa pun badai tuduhan, pada akhirnya kebenaran akan tetap tegak, dan fitnah akan tenggelam dalam lumpur ketidakberdayaannya sendiri. Cahaya Takkan Padam oleh Bayangan Nasaruddin Umar adalah sosok yang telah membuktikan dirinya melalui karya, bukan sekadar kata. Ia bukan kaki tangan siapa pun kecuali kebenaran. Ia bukan antek siapa pun kecuali keadilan. Ia bukan piaraan siapa
pun kecuali ilmu dan kebijaksanaan. Sebagaimana matahari tetap bersinar meski diterpa badai, sebagaimana mutiara tetap berkilau meski terpendam dalam lumpur, demikian pula Nasaruddin Umar, ia akan tetap menjadi cahaya di tengah fitnah, tetap menjadi embun di tengah panasnya prasangka, tetap menjadi peneduh di tengah api permusuhan. Dan sejarah akan mencatat, siapa yang menebar kebaikan akan dikenang,
sementara mereka yang menebar fitnah hanya akan menjadi angin lalu yang hilang ditelan waktu. Nasaruddin Umar: Ulama Universalis dalam Cahaya Islam Rahmatan lil 'Alamin Dalam lautan ilmu yang luas, di antara bintang-bintang pemikiran Islam, beliau adalah sosok yang tidak hanya menjadi penjaga akidah, tetapi juga pelopor Islam yang inklusif, damai, dan penuh hikmah. Prof. Dr. KH. Nasaruddin
Umar, MA adalah gambaran ulama universalis yang menebarkan cahaya Islam ke seluruh penjuru tanpa batas sekat-sekat golongan, budaya, maupun agama. Keuniversalannya tidak hanya dalam ucapan, tetapi juga dalam pemikiran dan tindakan. Islam yang ia usung bukanlah Islam yang kaku dan eksklusif, tetapi Islam yang hidup, fleksibel, dan mampu menyentuh setiap lapisan manusia tanpa kehilangan esensi
ketauhidannya. 1. Islam sebagai Rahmatan lil ‘Alamin: Pesan Universal Kasih Sayang dan Keadilan Islam diturunkan sebagai rahmat, bukan hanya bagi kaum Muslimin, tetapi bagi seluruh makhluk. Konsep Islam yang dipahami Nasaruddin Umar berakar kuat pada prinsip rahmatan lil 'alamin, yang berarti membawa kebaikan, keadilan, dan kedamaian bagi semua. Allah berfirman dalam Al-Qur'an: وَمَا
أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ "Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam." (QS. Al-Anbiya: 107) Ayat ini menjadi pondasi utama pemikirannya. Islam bukan agama yang menebar kebencian, tetapi agama yang menawarkan solusi bagi peradaban. Islam tidak hadir untuk membangun permusuhan, tetapi
untuk mendamaikan. Dalam pemikiran Nasaruddin Umar, rahmatan lil ‘alamin harus diwujudkan dalam sikap dan kebijakan yang adil serta kebijaksanaan dalam berinteraksi dengan sesama manusia. Nabi Muhammad SAW. bersabda: إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia." (HR.
Ahmad dan al-Baihaqi) Dari hadits ini, Nasaruddin Umar menekankan bahwa dakwah Islam tidak boleh hanya fokus pada hukum dan ritual semata, tetapi juga harus menjadi sarana perbaikan akhlak dan kesejahteraan umat manusia secara menyeluruh. Dalam pandangannya, keadilan adalah inti dari Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Sebagaimana firman Allah: إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ
بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ "Sesungguhnya Allah memerintahkan (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan serta memberi kepada kaum kerabat, dan Dia melarang perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan." (QS. An-Nahl: 90)
Bagi Nasaruddin Umar, Islam yang rahmatan lil ‘alamin bukan hanya jargon, tetapi harus tampak dalam kebijakan negara, dalam interaksi sosial, dalam hukum yang diterapkan, serta dalam cara dakwah yang santun dan penuh hikmah. 2. Dialog Antaragama dan Interkultural: Jembatan Menuju Keharmonisan Sosial Salah satu ciri khas pemikirannya adalah keberaniannya membangun dialog antaragama. Bagi beliau,
umat Islam tidak boleh terkungkung dalam sekat-sekat eksklusifisme yang hanya melihat kelompoknya sendiri sebagai pemilik kebenaran absolut, tanpa mau memahami orang lain. Allah berfirman: يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ
لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ "Wahai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, lalu Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa."
(QS. Al-Hujurat: 13) Dari ayat ini, Nasaruddin Umar memahami bahwa perbedaan agama, suku, dan budaya bukanlah untuk dipertentangkan, tetapi sebagai sarana untuk saling mengenal dan memahami. Nabi Muhammad SAW. juga telah memberikan teladan dalam berdialog dengan pemeluk agama lain. Dalam Piagam Madinah, beliau membangun masyarakat plural dengan dasar keadilan dan hak yang setara bagi Muslim dan
non-Muslim. Nasaruddin Umar meyakini bahwa membangun dialog antaragama bukan berarti mencampuradukkan akidah, tetapi justru untuk menegaskan identitas Islam yang damai dan inklusif. Beliau menolak klaim sebagian kelompok yang menganggap dialog antaragama sebagai bentuk kompromi terhadap Islam. Sebaliknya, dialog adalah manifestasi dari Islam yang luhur dan penuh hikmah, sebagaimana firman Allah:
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, serta bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik." (QS. An-Nahl: 125) 3. Keilmuan yang Holistik: Integrasi
Islam dan Ilmu Sosial Modern Sebagai seorang akademisi, Nasaruddin Umar tidak membatasi keislaman dalam ranah fiqh dan ibadah semata. Ia memahami bahwa Islam adalah sistem kehidupan yang mencakup semua aspek, termasuk sains, ekonomi, politik, dan sosial. Pandangan ini sejalan dengan firman Allah: وَمَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِن شَيْءٍ "Dan tidaklah Kami
luputkan sesuatu pun di dalam Kitab (Al-Qur’an)." (QS. Al-An’am: 38) Dalam pemikirannya, Islam harus mampu berdialog dengan realitas modern, bukan justru berseberangan dengannya. Ilmu sosial, filsafat, dan sains bukanlah ancaman bagi Islam, tetapi justru bisa menjadi alat untuk memperkokoh pemahaman keislaman secara lebih luas. Sebagaimana Imam Al-Ghazali yang menggabungkan ilmu syariah
dengan filsafat, atau Ibnu Khaldun yang memadukan ilmu sejarah dengan sosiologi, Nasaruddin Umar berusaha menjembatani antara Islam dan ilmu sosial modern. Sehingga dengan demikian maka Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA adalah cerminan ulama universalis yang memahami Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Beliau mengajarkan Islam dengan kelembutan, menyebarkan kedamaian, membangun jembatan dialog
antaragama, serta menjadikan Islam sebagai solusi bagi peradaban modern. Keberanian dan ketajaman ilmunya mengingatkan kita pada para ulama besar di masa lalu. Ia bukan hanya seorang pemikir, tetapi juga seorang pejuang yang membawa cahaya Islam di tengah kegelapan fanatisme dan konflik. Dan seperti kata pepatah Arab: العلم نور يهتدي به السالك، والجهل ظلمة يضل
فيها الهائم "Ilmu adalah cahaya yang menuntun langkah, sedangkan kebodohan adalah kegelapan yang menyesatkan." Washatiyah dalam Pemikiran Nasaruddin Umar: Jalan Islam yang Lurus, Moderat, dan Berhikmah Islam adalah agama keseimbangan, keadilan, dan kemoderatan. Prinsip washatiyah (وسطية) adalah inti ajaran Islam yang mencegah umatnya dari sikap ekstrem, baik dalam bentuk
tatharruf (kelebihan dalam beragama) maupun tafrit (pengabaian syariat). Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA, dalam pemikirannya, mengembangkan konsep washatiyah yang berlandaskan pada keseimbangan antara akidah yang lurus, tradisi dan modernitas, serta pencegahan ekstremisme dengan pendekatan tasawuf yang lembut. 1. Menjaga Kemurnian Akidah Islam Prinsip pertama dari washatiyah adalah menjaga
kemurnian akidah Islam dari penyimpangan tanpa terjerumus ke dalam sikap keras yang menafikan rahmat dan hikmah Islam. Nasaruddin Umar menekankan bahwa pemahaman tauhid harus dijaga dari ekstremisme yang terlalu tekstualis hingga melupakan realitas sosial, maupun dari liberalisme yang meleburkan Islam ke dalam relativisme berlebihan. Allah SWT berfirman: وَكَذَٰلِكَ
جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا "Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas
(perbuatan) kamu." (QS. Al-Baqarah: 143) Ayat ini menjadi dalil utama konsep washatiyah dalam Islam. Sebuah umat yang wasath berarti umat yang berada di tengah-tengah, tidak condong ke arah ekstrem kanan (fanatisme berlebihan) maupun ekstrem kiri (kelonggaran tanpa batas).Nabi Muhammad SAW. bersabda: إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ، فَإِنَّمَا
هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّينِ "Jauhilah sikap berlebih-lebihan dalam beragama, karena sesungguhnya kebinasaan umat sebelum kalian disebabkan oleh sikap berlebih-lebihan dalam beragama." (HR. An-Nasa’i dan Ibnu Majah) Dalam pemikiran Nasaruddin Umar, keislaman yang benar haruslah berada dalam koridor Ahlus Sunnah wal
Jamaah, yakni tetap berpegang teguh pada Al-Qur’an, hadits, serta ijma’ dan qiyas para ulama, tanpa terjebak pada pemahaman literal yang mengabaikan maqashid syariah. 2. Menyeimbangkan antara Tradisi dan Modernitas Sebagai seorang intelektual Muslim, Nasaruddin Umar mengusung pemahaman Islam yang relevan dengan zaman. Ia menolak pemahaman Islam yang membeku, tetapi juga menolak modernisme yang
menafikan akar tradisi Islam. Dalam tafsirnya, ia mengembangkan pendekatan tafsir kontekstual, yakni memahami teks agama dalam konteks perubahan sosial yang terjadi tanpa mengorbankan prinsip Islam. Allah SWT berfirman: إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ "Sesungguhnya Allah tidak akan
mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri." (QS. Ar-Ra’d: 11) Dalam aspek gender, misalnya, Nasaruddin Umar membela hak-hak perempuan dalam koridor syariat Islam. Ia menekankan bahwa Islam tidak menindas perempuan, tetapi justru meninggikan martabatnya, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW. dalam memperlakukan istri-istri dan putrinya. Nabi Muhammad
SAW. bersabda: خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي "Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku." (HR. Tirmidzi) Nasaruddin Umar memahami bahwa modernitas tidak boleh menyingkirkan nilai-nilai Islam, dan Islam harus hadir dalam setiap
perubahan sosial tanpa kehilangan esensinya. 3. Mencegah Ekstremisme dan Radikalisme Dalam dunia yang semakin kompleks, radikalisme dan ekstremisme menjadi ancaman nyata bagi Islam. Nasaruddin Umar aktif dalam berbagai forum nasional dan internasional untuk mencegah penyalahgunaan agama sebagai alat politik dan kekerasan. Allah SWT telah memperingatkan tentang bahayanya sikap berlebih-lebihan dalam
agama: قُلْ يَٰٓأَهْلَ ٱلْكِتَٰبِ لَا تَغْلُوا۟ فِى دِينِكُمْ غَيْرَ ٱلْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعُوٓا۟ أَهْوَآءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا۟ مِن قَبْلُ وَأَضَلُّوا۟ كَثِيرًۭا وَضَلُّوا۟ عَن سَوَآءِ ٱلسَّبِيلِ "Katakanlah: Wahai Ahli Kitab!
Janganlah kamu berlebih-lebihan dalam agamamu dengan cara yang tidak benar dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu kaum yang telah sesat sebelumnya dan menyesatkan banyak (orang), serta mereka sendiri telah tersesat dari jalan yang lurus." (QS. Al-Ma’idah: 77) Nabi Muhammad SAW.juga bersabda: إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ
إِلَّا غَلَبَهُ "Sesungguhnya agama ini mudah, dan tidaklah seseorang berlebihan dalam agama kecuali dia akan kalah (kepayahan)." (HR. Bukhari dan Muslim) Dari ayat dan hadits ini, Nasaruddin Umar menegaskan bahwa Islam harus dijaga dari penyimpangan ekstrem yang menjadikannya alat kebencian. Islam harus dikembalikan pada fitrahnya sebagai agama yang damai, sejuk, dan mampu
membawa manusia kepada peradaban yang lebih baik. 4.Tasawuf sebagai Jalan Penyempurnaan Akidah Tasawuf menjadi salah satu metode penting dalam membangun spiritualitas umat Islam. Nasaruddin Umar memiliki pemahaman tasawuf yang mengedepankan penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) dan akhlak luhur dalam kehidupan sehari-hari. Allah SWT berfirman: قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّىٰهَا
وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّىٰهَا "Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya." (QS. Asy-Syams: 9-10) Nabi Muhammad SAW.bersabda: إِنَّ مِنْ خِيَارِكُمْ أَحْسَنَكُمْ أَخْلَاقًا "Sesungguhnya orang yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya." (HR.
Bukhari dan Muslim) Dengan tasawuf, Nasaruddin Umar mengajarkan bahwa Islam bukan hanya tentang ibadah ritual, tetapi juga tentang membangun kebeningan hati, ketulusan dalam berbuat baik, dan kasih sayang terhadap sesama manusia. Karena itu , maka Konsep washatiyah yang dikembangkan oleh Nasaruddin Umar adalah jalan keseimbangan yang menjaga kemurnian Islam tanpa terjebak ekstremisme, mengharmonikan
tradisi dan modernitas, serta menawarkan tasawuf sebagai solusi spiritual bagi umat. Dengan pemikiran yang berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah, ia menjadi sosok ulama yang mencerahkan dan membimbing umat menuju Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Peran Nasaruddin Umar dalam Menjaga Akidah Washatiyah: Menegakkan Islam yang Moderat dan Rahmatan lil ‘Alamin. Islam sebagai agama yang membawa rahmat
bagi seluruh alam senantiasa menekankan prinsip keseimbangan, keadilan, dan moderasi. Konsep ini dikenal dengan istilah wasathiyah (وسطية), yang berarti tengah, adil, dan tidak berlebihan. Allah SWT.berfirman dalam Al-Qur’an: وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَٰكُمْ أُمَّةًۭ وَسَطًۭا لِّتَكُونُوا۟ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ
وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًۭا ۗ "Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang wasath (tengah/moderat) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu..." (QS. Al-Baqarah: 143). Dalam tafsir Ibnu Katsir, makna ummatan wasathan adalah umat yang adil dan
terbaik, yang tidak condong ke ekstrem kanan (keras dan fanatik) maupun ekstrem kiri (liberal dan serba permisif). Nasaruddin Umar, dengan pendekatan akademis dan spiritualnya, menjadikan prinsip ini sebagai dasar perjuangannya dalam menjaga akidah Islam dari dua kutub ekstremisme: radikalisme dan sekularisme. 1. Masjid Istiqlal sebagai Pusat Islam Moderat Sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal,
Nasaruddin Umar telah mengarahkan masjid ini menjadi pusat dakwah Islam washatiyah yang tidak hanya sebagai tempat ibadah tetapi juga sebagai pusat dialog lintas agama dan kajian Islam moderat. Dakwah yang mengedepankan kelembutan dan hikmah sejalan dengan firman Allah: ٱدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلْحِكْمَةِ وَٱلْمَوْعِظَةِ
ٱلْحَسَنَةِ وَجَٰدِلْهُم بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ ۚ "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik." (QS. An-Nahl: 125). Hadits Nabi SAW. juga menegaskan pentingnya lembut dalam berdakwah: اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ
أُمَّتِي شَيْئًا، فَرَفَقَ بِهِمْ، فَارْفُقْ بِهِ، وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا، فَشَقَّ عَلَيْهِمْ، فَاشْقُقْ عَلَيْهِ "Ya Allah, siapa saja yang mengurusi urusan umatku lalu bersikap lembut terhadap mereka, maka bersikaplah lembut kepadanya. Dan siapa saja yang
mengurusi urusan umatku lalu bersikap keras kepada mereka, maka bersikaplah keras kepadanya." (HR. Muslim, no. 1828). Melalui Masjid Istiqlal, Nasaruddin Umar menjadikan moderasi Islam sebagai strategi dakwah yang menciptakan harmoni antara umat Islam sendiri maupun dengan pemeluk agama lain. 2. Sebagai Akademisi dan Penulis: Mengembangkan Pemikiran Islam yang Kontekstual Nasaruddin Umar adalah
akademisi yang memiliki kontribusi besar dalam dunia intelektual Islam. Salah satu karyanya yang paling berpengaruh adalah "Argumen Kesetaraan Gender dalam Islam", yang menyoroti bahwa Islam telah memberikan hak kepada perempuan dalam batasan syariat. Hal ini berlandaskan firman Allah SWT: إِنَّ ٱلْمُسْلِمِينَ وَٱلْمُسْلِمَٰتِ
وَٱلْمُؤْمِنِينَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتِ... وَٱلذَّٰكِرِينَ ٱللَّهَ كَثِيرًۭا وَٱلذَّٰكِرَٰتِ أَعَدَّ ٱللَّهُ لَهُم مَّغْفِرَةًۭ وَأَجْرًۭا عَظِيمًۭا "Sesungguhnya laki-laki yang muslim dan perempuan yang muslimah, laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukminah... serta
laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar." (QS. Al-Ahzab: 35). Pendekatan akademis ini sejalan dengan pemikiran ulama klasik seperti Imam Al-Ghazali yang menyatakan dalam Ihya Ulumuddin: إِنَّ أَفْضَلَ الأَعْمَالِ تَزْكِيَةُ النَّفْسِ وَتَهْذِيبُهَا فِي
سُلُوكِهِا إِلَى اللَّهِ "Sesungguhnya amal yang paling utama adalah penyucian jiwa dan memperbaikinya dalam perjalanan menuju Allah." Melalui penelitian dan karya tulisnya, Nasaruddin Umar berusaha membangun pemikiran Islam yang mencerminkan nilai-nilai Al-Qur’an dan Sunnah dalam konteks zaman modern. 3. Pejuang Islam Moderat di Dunia Internasional Sebagai ulama
yang aktif di forum internasional, Nasaruddin Umar berperan dalam membangun narasi Islam sebagai agama damai di tengah maraknya Islamofobia. Dalam perjuangannya, ia menekankan pentingnya tasawuf sebagai penyempurna akidah Islam. Prinsip ini sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW: إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ "Sesungguhnya aku
diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia." (HR. Ahmad, no. 8952). Dalam perspektif sufi, tasawuf adalah cara untuk menjaga keseimbangan antara hukum syariat dan kelembutan spiritual. Sebagaimana dinyatakan oleh Imam Junaid Al-Baghdadi: التَّصَوُّفُ هُوَ أَنْ يَكُونَ العَبْدُ مَعَ اللَّهِ بِغَيْرِ وَسِيلَةٍ "Tasawuf adalah
keadaan seorang hamba bersama Allah tanpa perantara." Nasaruddin Umar menjadikan ajaran tasawuf sebagai sarana mendekatkan umat kepada Islam yang penuh cinta dan kasih sayang, jauh dari fanatisme yang memecah belah umat. Sehingga dengan demikian Sebagai ulama, akademisi, dan pejuang Islam moderat, Nasaruddin Umar telah berkontribusi besar dalam menjaga akidah Islam yang berimbang, adil, dan
penuh kasih sayang. Dari Masjid Istiqlal sebagai pusat moderasi Islam, hingga kajian akademiknya yang mendukung Islam kontekstual, serta perannya dalam diplomasi internasional, ia terus membangun narasi Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Keberadaannya di dunia Islam menjadi bukti nyata bahwa Islam yang moderat bukan hanya konsep, tetapi realitas yang dapat dijalankan demi menciptakan peradaban
yang harmonis dan penuh rahmat bagi seluruh umat manusia. Kurikulum Cinta: Memperkuat Spirit Toleransi dan Persaudaraan Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA, menawarkan sebuah konsep bernama Kurikulum Cinta, yang menekankan pentingnya membangun harmoni dan toleransi dalam keberagamaan. Kurikulum Cinta bertujuan agar pendidikan agama tidak hanya berfokus pada aspek normatif dan doktrinal, tetapi juga
menanamkan nilai-nilai kemanusiaan. Menurut Prof. Nasaruddin, salah satu akar dari konflik berbasis agama adalah cara pengajaran yang menekankan eksklusivitas kebenaran, sehingga menimbulkan fanatisme yang berlebihan. Oleh karena itu, dalam konsep ini, para pendidik dan pemuka agama diharapkan dapat mengajarkan cinta sebagai inti dari ajaran agama, bukan sekadar dogma yang membedakan satu kelompok
dengan kelompok lainnya. Dalam Al-Qur’an, konsep kemuliaan manusia ditegaskan dalam QS. Al-Isra’: 70, yang menyatakan bahwa Allah telah memuliakan anak Adam tanpa membedakan suku, ras, atau agama. Hal ini menjadi dasar bahwa setiap manusia harus diperlakukan dengan hormat dan penuh kasih sayang. Dengan menanamkan pemahaman seperti ini sejak dini, diharapkan generasi mendatang dapat tumbuh dengan
sikap inklusif dan menghargai perbedaan. Melalui Kurikulum Cinta, diharapkan terbentuk generasi yang tidak hanya memiliki pemahaman agama yang kuat, tetapi juga memiliki kesadaran untuk menjadikan cinta dan kasih sayang sebagai nilai utama dalam interaksi sosial. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, konsep ini juga berkontribusi dalam memperkuat persatuan dan keutuhan bangsa, sehingga
Indonesia tetap menjadi contoh negara yang damai dalam keberagaman. PENUTUP Sejarah selalu mencatat nama-nama yang menjadi lentera bagi zaman. Ada yang hadir dengan gagah perkasa, mengukir jejak dengan pedang dan takhta, namun ada pula yang datang dengan kelembutan, menjadikan kata-kata dan kebijaksanaan sebagai senjata yang menaklukkan hati. Di antara mereka, ada satu nama yang mengalir dalam arus
sejarah dengan penuh keteduhan dan kebijaksanaan: Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA. Ia bukan sekadar seorang ulama, bukan sekadar seorang cendekiawan, tetapi ia adalah sosok yang menghadirkan Islam dalam bentuknya yang paling indah: Islam yang mendamaikan, bukan mengoyakkan; Islam yang merangkul, bukan menyingkirkan; Islam yang sejuk, bukan membakar emosi. Ia adalah penjaga akidah yang wasathiyah,
seorang yang mengerti bahwa Islam bukan hanya soal hukum dan aturan, tetapi juga soal hati yang bersih, jiwa yang tenang, dan pikiran yang terbuka. Dari perjalanan hidupnya yang panjang, dari lorong-lorong pesantren hingga mimbar-mimbar akademik dunia, ia terus mengajarkan bahwa Islam bukanlah menara gading yang hanya bisa dijangkau segelintir orang, tetapi samudra luas yang airnya harus mengalir ke
setiap hati yang haus akan kedamaian. Di tengah riuhnya zaman, ketika perbedaan sering kali menjadi pemantik kebencian, Nasaruddin Umar memilih menjadi jembatan, bukan tembok. Ia memahami bahwa keagungan Islam tidak terletak pada kerasnya suara dalam perdebatan, tetapi pada kelembutan dalam memahami perbedaan. Dalam setiap tutur katanya, dalam setiap langkahnya, ia selalu berusaha menghadirkan Islam
yang penuh kasih sayang, Islam yang bukan hanya dipahami dalam lembaran kitab, tetapi dihidupkan dalam setiap interaksi sosial. Sebagai ulama yang mengemban tugas besar, ia tidak pernah memilih jalan pintas dengan menyulut api konflik, tetapi selalu menempuh jalan panjang penuh kesabaran untuk merajut persaudaraan. Ia menolak segala bentuk kekerasan dalam beragama, karena ia meyakini bahwa Islam
adalah agama yang diturunkan dengan cinta, bukan dengan kebencian; disebarkan dengan kelembutan, bukan dengan kekerasan. Ketika dunia sibuk dengan polarisasi, ketika sebagian orang berlomba-lomba menanamkan sekat di antara manusia, Nasaruddin Umar justru hadir sebagai penjaga keseimbangan. Ia tidak berpihak pada ekstremisme kanan yang membatasi Islam dalam kekakuan, juga tidak condong pada ekstremisme
kiri yang mereduksi Islam hingga kehilangan esensinya. Ia berdiri di tengah, memeluk semuanya dengan kebijaksanaan. Bagi Nasaruddin Umar, Islam adalah agama yang melampaui batas suku, bangsa, dan ideologi. Islam bukan hanya milik mereka yang berteriak paling keras dalam ceramah, bukan hanya milik mereka yang menampilkan kesalehan di permukaan, tetapi milik semua yang mencari kebenaran dengan hati yang
tulus. Ia percaya bahwa Islam tidak boleh dikungkung dalam fanatisme buta, tetapi harus diterjemahkan dalam tindakan yang membawa rahmat bagi seluruh alam. Sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal, ia menjadikan rumah ibadah terbesar di negeri ini sebagai simbol harmoni. Ia membuka pintunya untuk semua golongan, mengundang dialog yang mempertemukan, bukan yang memisahkan. Ia menjadikan masjid bukan sekadar
tempat sujud, tetapi juga tempat menyatukan hati, tempat menyulam persaudaraan, tempat membangun peradaban yang penuh cinta dan damai. Dan inilah warisan terbesar dari seorang Nasaruddin Umar, Ia bukan hanya mengajarkan Islam, tetapi menjadikan dirinya sebagai cerminan Islam itu sendiri. Ia membuktikan bahwa menjadi seorang muslim sejati bukanlah tentang berapa banyak ayat yang dihafal, bukan
tentang seberapa keras suara dalam membela agama, tetapi tentang bagaimana Islam diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, dengan akhlak yang luhur, dengan hati yang lapang, dengan pikiran yang luas. Kini, ketika kita menutup lembaran tentang sosoknya, kita tidak hanya mengenang seorang ulama besar, tetapi juga seorang pejuang yang telah mewakafkan hidupnya untuk menyebarkan kedamaian. Namanya akan
terus hidup dalam ingatan, bukan hanya karena kata-katanya yang menyejukkan, tetapi karena ia telah meninggalkan jejak yang abadi, jejak yang mengajarkan bahwa Islam adalah pelukan, bukan pukulan; Islam adalah cahaya, bukan api yang membakar; Islam adalah rahmat, bukan kutukan. Dan bagi siapa pun yang ingin belajar bagaimana Islam bisa hidup dalam harmoni, bagaimana agama bisa menjadi jembatan, bukan
tembok, bagaimana dakwah bisa dilakukan dengan kelembutan, bukan dengan kekerasan, maka lihatlah Nasaruddin Umar, dan temukan Islam yang sesungguhnya dalam kelembutan wajahnya, dalam keteduhan tutur katanya, dalam kesantunan akhlaknya, dalam kehangatan sikapnya. Di saat dunia mencari sosok yang dapat menyatukan, di saat umat mencari pemimpin yang dapat menenangkan, Nasaruddin Umar hadir sebagai oase
yang menyejukkan jiwa. Ia tidak hanya mengajarkan Islam, tetapi menghadirkannya dalam setiap langkah, dalam setiap senyuman, dalam setiap jabat tangan yang merangkul. Dan kelak, ketika waktu terus berjalan, ketika sejarah terus mencatat, nama Nasaruddin Umar akan tetap dikenang. Bukan karena kekuasaannya, bukan karena pangkatnya, tetapi karena ia telah memilih jalan yang benar, jalan yang meneladani
Rasulullah SAW. jalan yang menebar kasih sayang, jalan yang menghidupkan Islam dalam kelembutan dan kedamaian. #Wallahu A’lam Bishawab 🙏MK SEMOGA BERMANFAAT al-Fakir. Munawir Kamaluddin"