

"”Menghadapi Resah dan Gelisah: Kunci untuk Menemukan Kedamaian" Oleh: Munawir Kamaluddin Pernahkah engkau merasa sepi di tengah keramaian? Di saat tawa mengisi ruangan, namun hatimu terasa sunyi? Di saat semua terlihat baik-baik saja di mata orang lain, tapi jiwamu diam-diam menjerit? Pernahkah engkau merasa bahwa senyummu bukan lagi cerminan kebahagiaan, melainkan sekadar topeng yang kau
pakai untuk menyembunyikan badai di dalam dada? Mengapa terkadang hidup terasa hampa, meski semua yang kita inginkan telah tergenggam? Mengapa di tengah keberlimpahan dunia, kita justru merasakan kekosongan yang tak terlukiskan? Apakah ini yang disebut resah? Ataukah ini bentuk halus dari gelisah yang perlahan-lahan merongrong ketenangan hati? Apa sebenarnya yang sedang terjadi dalam hati yang tak
tenang itu? Apakah ia sedang protes karena telah terlalu lama diabaikan? Apakah ruh kita sedang merintih karena dijauhkan dari dzikir, dari cahaya ilahi, dari kalam-kalam suci yang menyejukkan? Apakah mungkin, resah dan gelisah bukanlah musibah, melainkan pertanda? Bukan malapetaka, melainkan peringatan penuh kasih dari Allah agar kita kembali menata hidup? Mungkinkah ini adalah bentuk cinta-Nya
yang tidak kita sadari—sebuah panggilan halus yang mengatakan, “Wahai jiwa, pulanglah kepada Tuhanmu!” Lalu jika benar, sebagaimana firman Allah: “أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ” “Ketahuilah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28), mengapa kita lebih sering mencari pelarian dalam hiburan dunia, dalam
keramaian semu, dalam pencapaian yang tak pernah memuaskan jiwa? Apakah kita lupa bahwa ketenangan bukanlah hasil dari banyaknya harta, tingginya jabatan, atau sanjungan manusia? Bahwa ketenangan adalah buah dari iman, dari dekatnya jiwa dengan Rabb-nya? Bukankah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً،
إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ” “Ketahuilah, dalam tubuh ada segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh tubuh akan baik. Jika ia rusak, maka seluruh tubuh akan rusak. Ketahuilah, ia adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim) Jika
hati adalah pusat seluruh kehidupan, dan hati kita tengah dikepung oleh keresahan dan kegelisahan, apa yang harus kita lakukan agar ia kembali tenang? Siapa yang harus kita dekati, dan kepada siapa kita berkeluh kesah? Mungkin inilah saatnya kita bertanya lebih dalam: Apakah resah dan gelisah adalah penyakit, atau justru guru? Apakah ia datang untuk menyiksa, atau justru untuk menyadarkan? Dan
bagaimana Islam, dengan keluhuran ajarannya, membimbing jiwa-jiwa yang sedang letih ini menuju ketenangan yang hakiki? Maka mari kita telusuri bersama. Kita buka lembaran-lembaran wahyu dan sabda Nabi, kita gali hikmah dari para sahabat dan ulama, untuk menemukan jawaban dari semua keresahan ini. Bukan sekadar agar kita tenang sesaat, tetapi agar kita mengerti, memaknai, dan menemukan kembali arah
pulang—kepada Allah, sumber ketenangan yang abadi. Karena sungguh, seperti kata para arif: "من وجد الله فماذا فقد؟ ومن فقد الله فماذا وجد؟" “Barangsiapa menemukan Allah, apa lagi yang hilang darinya? Dan barangsiapa kehilangan Allah, apa yang sesungguhnya telah ia temukan?” Resah dan Gelisah: Ketika Hati Memanggil Cahaya Dalam dinamika kehidupan
modern, manusia dihadapkan pada tekanan yang kian meningkat: tekanan ekonomi, sosial, dan spiritual. Di tengah segala hiruk-pikuk itu, seringkali muncul dua perasaan batin yang menghantui: resah dan gelisah. Islam sebagai agama yang holistik tidak hanya mengenal realitas tersebut, namun juga menawarkan penjelasan yang dalam serta jalan keluarnya. Secara umum, resah adalah kondisi tidak tenang dan
terganggu oleh sesuatu yang belum pasti, sedangkan gelisah merujuk pada ketidakstabilan batin karena rasa takut, cemas, atau waswas. Keduanya menandai kondisi jiwa yang terputus dari sumber ketenangan hakiki. Dalam perspektif Islam, kondisi ini dijelaskan melalui beberapa istilah dalam bahasa Arab yang sarat makna. Istilah "القلق" (al-qalaq) berarti kegelisahan jiwa. Sebagaimana
dijelaskan para ulama, “القلق هو اضطراب النفس وذهاب الطمأنينة عنها" yang berarti kegelisahan adalah keguncangan jiwa dan hilangnya ketenangan darinya. Ada juga istilah "الهمّ" (al-hamm), yaitu kecemasan pikiran. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan doa yang sangat terkenal: “اللَّهُمَّ إِنِّي
أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ..." artinya, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kecemasan dan kesedihan…” (HR. Bukhari). Istilah lain yang juga sering digunakan adalah "الحَزَن" (al-ḥazan) yang bermakna kesedihan hati. Allah Ta’ala berfirman. “…:وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ…. “……dan
janganlah engkau bersedih atas mereka...”. (QS. Al-Hijr:88) Sedangkan "الضيق" (adh-ḍayq) berarti sesaknya jiwa, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-An’am: 125, bahwa Allah menyempitkan dada orang-orang yang berpaling dari petunjuk-Nya. فَمَنْ يُّرِدِ اللّٰهُ اَنْ يَّهْدِيَهٗ يَشْرَحْ صَدْرَهٗ لِلْاِسْلَامِۚ
وَمَنْ يُّرِدْ اَنْ يُّضِلَّهٗ يَجْعَلْ صَدْرَهٗ ضَيِّقًا حَرَجًا كَاَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِى السَّمَاۤءِۗ كَذٰلِكَ يَجْعَلُ اللّٰهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ ١٢٥ “Maka, siapa yang Allah kehendaki mendapat hidayah, Dia akan
melapangkan dadanya untuk menerima Islam. Siapa yang Dia kehendaki menjadi sesat, Dia akan menjadikan dadanya sempit lagi sesak seakan-akan dia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.” Penyebab utama resah dan gelisah menurut Islam adalah: 1. jauhnya hati dari Allah dan kurangnya dzikir. Allah menegaskan dalam QS. Ṭāhā ayat 124:
“وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا” “Barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka baginya kehidupan yang sempit.” 2. Dosa dan maksiat juga merupakan penyebab utama. Ibnul Qayyim mengatakan: “الذنوب جراحات، ورب جرح وقع في مقتل” yang artinya dosa-dosa itu luka, dan bisa saja salah
satunya mematikan. 3. kecintaan berlebihan pada dunia menyebabkan hati menjadi gelap dan tidak tenang. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “حُبُّ الدُّنْيَا رَأْسُ كُلِّ خَطِيئَة artinya “cinta dunia adalah akar segala dosa.”. (HR. Baihaqi) Meski demikian, keresahan dan kegelisahan bukanlah aib dalam Islam. Ia adalah isyarat dari hati yang
tengah merindukan cahaya Ilahi. Ibnul Qayyim berkata, “فَإِنَّ فِي الْقَلْبِ شَعَثًا لاَ يَلُمُّهُ إِلاَّ الإِقْبَالُ عَلَى اللَّهِ”, artinya dalam hati ada keretakan yang tak bisa disatukan kecuali dengan kembali kepada Allah. Islam menawarkan solusi yang sangat aplikatif dan menyentuh ruhani manusia untuk keluar dari keresahan.
Pertama adalah dzikir dan mendekatkan diri kepada Allah. Allah berfirman, “أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ” (QS. Ar-Ra’d: 28), “Ketahuilah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” Kedua adalah bertawakkal dan ridha atas segala ketetapan Allah. Dalam QS. At-Ṭalāq ayat 3 disebutkan, “وَمَن
يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ”, “Barang siapa bertawakal kepada Allah, maka Allah cukup baginya.” Yang Ketiga Rasulullah juga mengajarkan doa yang sangat ampuh sebagai terapi psikologis: اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ”، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ
الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ” (HR. Bukhari dan Muslim). Doa ini mencakup perlindungan dari berbagai sumber keresahan. *Yang keempat*adalah mendirikan shalat dan membaca Al-Qur’an. Allah
berfirman dalam QS. Al-Ma’arij ayat 19–22: “إِنَّ الْإِنسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا ... إِلَّا الْمُصَلِّينَ” yang artinya, “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah… kecuali orang-orang yang mendirikan shalat. Sehingga dengan ,kita harus sadar bahwa resah dan gelisah adalah alarm spiritual untuk kembali pulang. Ketika dunia memudar
dan harapan rapuh, hanya keimanan dan kepasrahan kepada Allah yang menjadi penawar sejati. Ulama salaf berkata, “وَفِي قُرْبِكَ الرَّاحَةُ كُلُّهَا، وَفِي بُعْدِكَ الْهَمُّ كُلُّهُ” Artinya , “Dalam dekat-Mu ada seluruh ketenangan, dan dalam jauh dari-Mu ada seluruh keresahan.” Dengan pemahaman ini, resah dan gelisah bukan hanya
bisa diatasi, tetapi bisa dijadikan jalan untuk semakin dekat kepada Allah. Penutup dan Kesimpulan Hidup sejatinya adalah rentetan dialog sunyi antara jiwa dan Penciptanya. Dalam tiap desir waktu, kita seringkali disuguhkan rasa yang tak bernama: keresahan yang datang tanpa permisi, kegelisahan yang mengendap tanpa sebab. Lalu kita bertanya-tanya, mengapa hati ini kerap kali terasa berat, meski
langit begitu cerah, dan dunia tampak berjalan seperti biasa? Namun setelah menelusuri sumber-sumber langit, dari Kalam-Nya yang mulia, sabda Nabi yang penuh hikmah, dan petuah para bijak yang mendalam, kita pun mulai memahami bahwa resah dan gelisah bukanlah aib, bukan pula kesalahan. Resah dan gelisah adalah bagian dari fitrah kemanusiaan. Ia adalah bahasa jiwa yang rindu akan kesejatian. Di
balik gelisah, tersembunyi kerinduan akan makna. Di balik resah, ada isyarat bahwa kita telah terlalu jauh dari pusat kedamaian: Allah Subhanahu wa Ta’ala. Betapa sering kita salah sangka, mengira bahwa dunia yang gemerlap mampu menenangkan jiwa yang lelah, bahwa harta, kekuasaan, dan pengakuan manusia dapat menyembuhkan luka batin. Padahal, sebagaimana difirmankan-Nya: "أَلَا
بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ" "Ketahuilah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang." (QS. Ar-Ra’d: 28) Kita pun diingatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: "أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً، إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ،
وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ" "Ketahuilah, dalam tubuh ada segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh tubuh akan baik. Jika ia rusak, maka seluruh tubuh akan rusak. Ketahuilah, ia adalah hati." (HR. Bukhari dan Muslim) Maka hati inilah yang harus dirawat. Bukan sekadar dengan menghindari
dosa, tapi dengan merawat hubungan spiritual dengan Allah. Zikir, shalat, membaca Al-Qur’an, memperbanyak istighfar, dan berserah diri dengan tulus adalah jalan kembali bagi hati yang goyah. Bahkan dalam dunia tasawuf, resah dan gelisah disebut sebagai maqamat (tingkatan-tingkatan) yang harus dilalui seorang salik (penempuh jalan ruhani) agar sampai pada maqam ridha, tempat di mana segala beban dunia
terasa ringan karena jiwa telah tenang dalam kepasrahan total kepada Allah. Ulama besar seperti Imam al-Ghazali, Ibn Qayyim al-Jawziyyah, dan Ibn ‘Athaillah pun telah menjelaskan bahwa hati yang gelisah adalah hati yang sedang dipanggil untuk mendekat. Ia bukan bencana, melainkan sinyal kasih sayang dari langit. Sebab, Allah mencintai hamba-Nya yang rindu, dan kerinduan itu terkadang ditumbuhkan
melalui keresahan. Resah dan gelisah bisa jadi jalan awal dari perubahan. Ia adalah alarm ruhani bahwa ada yang salah dengan arah perjalanan kita. Maka jangan ditolak, jangan dibungkam, apalagi dicaci. Dengarkan ia dengan khusyuk, pahami pesannya, dan jadikan ia sahabat dalam perjalanan pulang kepada Allah. Karena, sebagaimana kalam para arif: "من وجد الله فماذا فقد؟ ومن
فقد الله فماذا وجد؟" "Barangsiapa menemukan Allah, maka apa lagi yang ia hilangkan? Dan barangsiapa kehilangan Allah, maka apa sejatinya yang ia temukan?" Akhirnya, semoga setiap resah yang datang, menjadi jembatan menuju kedekatan. Setiap gelisah yang hadir, menjadi pintu menuju pencerahan. Dan semoga tulisan ini tak hanya menjadi bacaan yang berakhir di mata, tapi
menjadi hikmah yang mengendap dalam dada, dan membentuk langkah-langkah baru yang lebih tenang, lebih sadar, lebih dekat kepada-Nya. Sebab, dalam sunyi yang penuh makna, jiwa yang letih akhirnya akan berkata: "Ternyata, resah ini bukan kutukan... tetapi undangan. Sebuah ajakan lembut dari Sang Maha Damai agar kita pulang ke tempat di mana tak ada lagi gelisah: ke hadirat-Nya, yang Maha
Menenangkan." Maka, saat kita merasa hampa meski dunia telah dalam genggaman, janganlah buru-buru menyalahkan takdir. Mungkin itulah saat Allah sedang menegur lembut: bahwa kita sedang terlalu jauh dari-Nya. Mungkin keresahan itu adalah cara-Nya memanggil, bukan untuk menghukum, tetapi untuk menyelamatkan. Mari kita renungi kembali kalimat para arif: "من وجد الله فماذا
فقد؟ ومن فقد الله فماذا وجد؟" “Barangsiapa menemukan Allah, apa lagi yang hilang darinya? Dan barangsiapa kehilangan Allah, apa yang sesungguhnya telah ia temukan?” Semoga keresahan tidak lagi menjadi beban, melainkan jembatan untuk kembali. Semoga gelisah menjadi pintu perenungan, bukan jerat keputusasaan. Dan semoga hati kita senantiasa diberi kekuatan untuk
menjemput ketenangan, bukan di luar diri, tetapi dalam sujud, dalam dzikir, dan dalam cinta kepada Allah yang tak bertepi.#Wallahu A’lam Bishawab🙏 MK SEMOGA BERMANFAT al-Fakir .Munawir Kamaluddin"