Dr. H. Munawir Kamaluddin, M.Ag

"MENINGGAL DIUSIA MUDA: Kepergian yang Mengguncang dan Renungan yang Menyadarkan Oleh: Munawir Kamaluddin Pernahkah kita membayangkan, bagaimana jika hari ini adalah hari terakhir kita? Bagaimana jika esok tak lagi memberi kesempatan untuk membuka mata, menatap langit pagi, atau mengucapkan sepatah kata kepada orang-orang yang kita cintai? Pernahkah kita bertanya, apakah kita sudah siap jika malaikat

maut datang tanpa aba-aba? Kita sering berpikir bahwa kematian hanya milik mereka yang sudah tua, mereka yang tubuhnya mulai melemah, mereka yang rambutnya telah memutih dan langkahnya telah gontai. Tetapi benarkah demikian? Bukankah setiap hari kita mendengar berita tentang seseorang yang masih dalam usia produktif, yang masih bekerja, yang masih penuh impian, yang masih menjadi tulang punggung

keluarga, tiba-tiba dipanggil pulang? Bayangkan seseorang yang telah melewati tiga atau empat dekade kehidupannya. Ia telah melewati masa mudanya dengan perjuangan, ia telah mengukir pencapaian, ia telah berkeluarga, bekerja, berkarya, dan memberi manfaat. Ia bukan lagi seorang pemuda yang sedang mencari jati diri, bukan lagi seorang anak yang berlindung di balik kasih orang tua. Ia adalah seorang

ayah yang masih membimbing anak-anaknya bertumbuh, seorang ibu yang masih menjadi pelita bagi keluarganya, seorang sahabat yang masih menjadi tempat berbagi, seorang pemimpin yang masih berusaha membangun. Tetapi tiba-tiba, semuanya harus terhenti. Kepergiannya mendadak, seolah kehidupan baru saja mencapai puncaknya, tetapi tanpa peringatan, semuanya harus berakhir. Tidak ada yang menyangka, tidak

ada yang siap. Satu per satu, orang-orang yang ditinggalkan mulai bertanya dalam tangis: Mengapa begitu cepat? Mengapa bukan nanti, ketika tugasnya sudah selesai? Mengapa bukan setelah anak-anaknya dewasa? Namun, adakah kita memiliki hak untuk menawar ketetapan Ilahi? Adakah kita bisa berkata kepada malaikat maut: tunggu sebentar, biarkan aku menyelesaikan pekerjaanku dulu, biarkan aku menyiapkan

warisan lebih banyak, biarkan aku mendidik anakku hingga dewasa? Tidak. Tidak ada perjanjian antara kita dan kematian. Tidak ada negosiasi, tidak ada penundaan. Lalu, bagaimana jika giliran kita yang dipanggil? Sudahkah kita mempersiapkan diri? Jika ajal menjemput esok pagi, apa yang kita tinggalkan? Adakah amal yang cukup untuk menemani kita di alam barzakh? Adakah doa yang akan terus mengalir dari

anak-anak kita? Ataukah kita pergi dalam keadaan tangan kosong, meninggalkan dunia tanpa jejak yang berarti? Betapa banyak orang yang berpikir bahwa hidup ini masih panjang, bahwa kematian adalah sesuatu yang masih jauh, sehingga mereka menunda-nunda kebaikan, menunda untuk lebih dekat dengan Tuhan, menunda untuk meminta maaf, menunda untuk memperbaiki diri. Tetapi, tidakkah mereka sadar bahwa usia

bukanlah jaminan? Kematian di usia matang adalah sebuah teguran, sebuah pengingat yang mengguncang: Jangan menunggu tua untuk bersiap, karena belum tentu kita diberi kesempatan untuk menua. Maka, sebelum waktu habis, sebelum pintu kesempatan tertutup, sebelum nama kita hanya menjadi kenangan di batu nisan, mari bertanya pada diri sendiri: Jika hari ini adalah hari terakhir, dalam keadaan seperti apa

aku ingin dikenang? Dalam keadaan seperti apa aku ingin menghadap Tuhan? Jangan biarkan kesibukan dunia membuat kita lupa akan akhir perjalanan. Jangan biarkan kelalaian membuat kita pulang tanpa bekal. Karena pada akhirnya, hanya satu yang akan menemani kita di alam keabadian: amal yang telah kita tanam, dan doa yang telah kita tinggalkan. Kematian di Usia Muda: Misteri Ilahi dan Motivasi untuk

Selalu Bersiap Menghadapinya Kematian adalah salah satu misteri terbesar dalam kehidupan manusia. Tidak ada yang tahu kapan, di mana, dan dalam keadaan bagaimana seseorang akan meninggal. Sebagian orang berpulang dalam usia lanjut setelah melalui perjalanan hidup yang panjang, sementara yang lain meninggal di usia muda dalam keadaan yang tak terduga. Kematian di usia muda sering kali menjadi

pukulan berat bagi keluarga dan masyarakat, karena banyak harapan dan cita-cita yang tampaknya belum tercapai. Namun, dalam perspektif Islam, kematian, termasuk yang datang di usia muda, adalah ketetapan Allah yang penuh hikmah. Islam mengajarkan bahwa kehidupan dunia hanyalah persinggahan sementara, dan setiap manusia akan meninggalkan dunia ini sesuai dengan takdir yang telah Allah tetapkan.

Oleh karena itu, kematian, baik yang datang di usia muda maupun tua, harus menjadi pengingat bagi setiap muslim untuk selalu siap menghadapinya dengan memperbanyak amal saleh. 1. Kematian sebagai Ketetapan Allah yang Tidak Bisa Dihindari Dalam Islam, kematian bukanlah sesuatu yang bisa dihindari atau ditunda. Setiap jiwa telah memiliki ajal yang telah ditentukan oleh Allah sejak sebelum ia lahir.

Allah SWT. telah berfirman di dalam Al-Qur’an: اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا ۖ فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَىٰ عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الْأُخْرَىٰ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى ۚ إِنَّ فِي

ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang

berpikir.) (QS. Az-Zumar [39]: 42). Demikian pula disurah lain Allah SWT pun menegaskan dalam firmannya : وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا مُؤَجَّلًا (Dan tidaklah suatu jiwa akan mati kecuali dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya.) (QS. Ali Imran [3]: 145) Ayat-ayat

ini menegaskan bahwa kematian bukanlah suatu kebetulan atau kejadian yang tanpa rencana. Segala sesuatu telah tertulis dalam kitab takdir, termasuk kapan dan bagaimana seseorang akan meninggal. 2. Misteri Kematian: Hikmah di Balik Usia Muda yang Pendek Kematian di usia muda sering kali menimbulkan pertanyaan: Mengapa seseorang yang tampaknya masih memiliki banyak potensi dan harapan harus pergi

begitu cepat? Namun, Islam mengajarkan bahwa Allah lebih mengetahui segala hikmah di balik setiap kejadian. Allah SWT. menyatakan didalam Al-Qur’an: وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ

وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.) (QS. Al-Baqarah [2]: 216) Imam Al-Qurtubi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa terkadang Allah mencabut nyawa seseorang di usia muda sebagai bentuk kasih sayang agar ia tidak

terjerumus dalam keburukan yang lebih besar. Hal ini dapat dilihat dalam kisah Nabi Khidir dan Nabi Musa yang terdapat dalam Surah Al-Kahfi, ketika seorang anak yang berpotensi menjadi durhaka di masa depan diambil nyawanya oleh Allah. وَأَمَّا الْغُلَامُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَا أَنْ يُرْهِقَهُمَا

طُغْيَانًا وَكُفْرًا فَأَرَدْنَا أَنْ يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِنْهُ زَكَاةً وَأَقْرَبَ رُحْمًا (Adapun anak muda itu, maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan membebani mereka dengan kedurhakaan dan kekafiran. Maka kami ingin agar Tuhan mereka menggantinya

dengan anak yang lebih baik kesuciannya dan lebih penyayang.) (QS. Al-Kahfi [18]: 80-81) Dari ayat ini, kita belajar bahwa kematian seseorang, meskipun tampaknya tragis di mata manusia, bisa jadi adalah bentuk kasih sayang Allah untuk menyelamatkannya dari keburukan yang lebih besar di masa depan. 3. Kematian sebagai Motivasi untuk Selalu Bersiap Karena kematian adalah sesuatu yang pasti dan datang

tanpa diduga, seorang muslim harus selalu bersiap menghadapinya dengan memperbanyak amal saleh. Rasulullah SAW. bersabda dalam Haditsnya: إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ خَيْرًا اسْتَعْمَلَهُ، فَقِيلَ: كَيْفَ يَسْتَعْمِلُهُ؟ قَالَ: يُوَفِّقُهُ لِعَمَلٍ صَالِحٍ قَبْلَ مَوْتِهِ

(Jika Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, maka Dia akan menggunakannya. Lalu ada yang bertanya: Bagaimana Allah menggunakannya? Nabi menjawab: Allah memberikan taufik kepadanya untuk beramal saleh sebelum kematiannya.) (HR. Ahmad, no. 11634) Oleh karena itu, seseorang tidak boleh menunda amal kebaikan dengan alasan masih muda atau merasa masih memiliki banyak waktu. Rasulullah SAW.

mengingatkan dalam sejumlah Hadits diantaranya : بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ سَبْعًا: هَلْ تَنْتَظِرُونَ إِلَّا فَقْرًا مُنْسِيًا، أَوْ غِنًى مُطْغِيًا، أَوْ مَرَضًا مُفْسِدًا، أَوْ هَرَمًا مُفْنِدًا، أَوْ مَوْتًا مُجْهِزًا، أَوْ الدَّجَّالَ

فَشَرُّ غَائِبٍ يُنْتَظَرُ، أَوْ السَّاعَةَ فَالسَّاعَةُ أَدْهَى وَأَمَرُّ (Segeralah beramal sebelum datang tujuh hal: kemiskinan yang membuat lupa, kekayaan yang membuat sombong, sakit yang merusak, usia tua yang melemahkan, kematian yang mendadak, Dajjal yang merupakan seburuk-buruk makhluk yang ditunggu, atau Kiamat yang lebih

dahsyat dan lebih pahit.) (HR. Tirmidzi, no. 2306) Sehingga dengan demikian , maka kematian di usia muda bukanlah suatu keburukan, melainkan bagian dari misteri dan hikmah Allah. Islam mengajarkan bahwa setiap manusia harus selalu bersiap menghadapi kematian kapan saja, dengan memperbanyak amal saleh dan menjauhi maksiat. Oleh karena itu, usia muda bukanlah alasan untuk menunda kebaikan, tetapi

justru menjadi kesempatan emas untuk menyiapkan bekal menuju akhirat yang abadi. PENUTUP: Ketika Waktu Tak Lagi Berbicara Hidup adalah kisah yang ditulis tanpa akhir yang bisa ditebak. Setiap manusia berjalan di atas garis waktu yang tak terlihat, menggenggam harapan dan cita-cita, menanam benih impian, membangun dunia yang diimpikan. Tetapi tak seorang pun tahu kapan kalimat terakhir akan

dituliskan, kapan perjalanan ini akan mencapai ujungnya. Kematian di usia matang, di puncak produktivitas, adalah sebuah peringatan yang mengguncang. Ia bukan sekadar kehilangan, bukan sekadar duka yang menyelimuti mereka yang ditinggalkan. Ia adalah pesan sunyi dari langit, bahwa dunia bukan tempat tinggal abadi. Ia adalah isyarat bahwa seberapa besar pun kita membangun, seberapa kuat pun kita

bertahan, ada batas yang tak bisa kita langkahi. Bayangkan seorang ayah yang baru saja melihat anaknya tumbuh, seorang ibu yang masih membelai rambut anaknya sebelum tidur. Bayangkan seorang pemimpin yang masih menyusun rencana besar, seorang guru yang masih ingin mengajarkan kebijaksanaan, seorang pencari ilmu yang masih haus akan pengetahuan. Namun, tiba-tiba, semuanya harus berhenti. Tak ada

waktu untuk berpamitan, tak ada kesempatan untuk menyelesaikan apa yang tertunda. Adakah yang lebih mengguncang dari kepergian yang tiba-tiba? Adakah yang lebih menyayat dari melihat seseorang yang masih penuh semangat, yang masih memiliki begitu banyak rencana, tiba-tiba menjadi kenangan? Tetapi inilah hidup. Inilah takdir yang telah tertulis sejak sebelum kita lahir. Lalu, apa maknanya bagi kita

yang masih diberi waktu? Apakah kita akan terus hidup seolah-olah esok masih pasti? Apakah kita akan terus menunda kebaikan, menunda taubat, menunda kasih sayang kepada mereka yang kita cintai? Apakah kita akan membiarkan hari-hari berlalu tanpa makna, tanpa persiapan untuk pertemuan yang tak terhindarkan? Kematian di usia muda atau di usia matang bukanlah tragedi, bukan pula sesuatu yang datang

tanpa hikmah. Ia adalah bagian dari skenario Ilahi yang jauh lebih besar dari pemahaman manusia. Ada yang dipanggil lebih dulu karena tugasnya telah selesai, ada yang diambil lebih cepat karena kasih sayang Allah, karena dunia ini bukan tempat yang terbaik untuknya. Tetapi bagi kita yang masih bernapas, pesan itu begitu jelas, bahwa hiduplah dengan penuh kesadaran. Jangan biarkan waktu berlalu tanpa

makna. Jangan menunggu esok untuk menjadi lebih baik. Sebab, pada akhirnya, kita semua adalah pejalan yang sedang menuju satu titik yang sama. Perbedaannya hanyalah kapan kita sampai. Ketika hari itu tiba, saat waktu tak lagi berbicara, saat semua yang kita miliki harus ditinggalkan, hanya satu pertanyaan yang tersisa: Sudahkah kita siap untuk pulang? Pada akhirnya, kita tidak bisa menunda atau

bernegosiasi dengan maut. Yang bisa kita lakukan hanyalah memastikan bahwa ketika waktunya tiba, kita telah siap. Siap dengan amal yang kita bawa, dengan doa-doa yang kita tinggalkan, dan dengan jejak kebaikan yang tetap hidup meskipun kita telah tiada. Maka, sebelum waktu tak lagi berbicara, sebelum nama kita hanya menjadi sejarah, mari bertanya pada diri sendiri: Jika hari ini adalah hari terakhir,

dalam keadaan seperti apa aku ingin menghadap Tuhan? Semoga kita termasuk dalam golongan orang-orang yang meninggalkan dunia ini dalam keadaan husnul khatimah,dengan amal yang cukup, dengan hati yang bersih, dan dengan kehidupan yang penuh makna.# Wallahu A’lam Bishawab🙏MK SEMOGA BERMANFAAT Al-Fakir.Munawir Kamaluddin"