Prof. Dr. H. Ahmad M. Sewang, M.A

"MUBALIG PROFESSIONA: MENURUT HUSNI DJAMALUDDIN Oleh Ahmad M. Sewang Akhir tahun 1981, Ketua Umum DPP IMMIM, H. Fadeli Luran, mempercayakan kepada saya untuk melaksanakan sebuah panel diskusi. Dalam mempersiapkannya, saya berkonsultasi dengan senior sekaligus sahabat saya, almarhum Husni Djamaluddin. Beliaulah yang mengusulkan judul Mubalig Profesional sebagai tema diskusi. Saya kemudian bertanya

kepada beliau mengenai makna mubalig profesional. Hal itu perlu memahaminya secara mendalam untuk menyusun proposal kegiatan. Dengan lugas, Husni menjelaskan bahwa yang perlu diperjelas adalah makna kata "profesional". Ia mencontohkan seorang petinju profesional, yaitu seseorang yang benar-benar mendedikasikan dirinya sebagai petinju, dengan keahlian yang diakui dan bayaran yang dihitung per

pertandingan. Ia pun menyebutkan bahwa bayaran tertinggi bagi seorang petinju profesional saat ini adalah Rp 1,6 triliun, sebagaimana yang diterima oleh Tyson Fury. Lalu, Husni mengajukan pertanyaan reflektif, "Adakah seorang mubalig profesional yang mendapatkan bayaran Rp 1,6 triliun untuk sekali tampil di atas mimbar?" Ia kemudian menjawabnya sendiri yang disampakannya di depan Panel

Diskusi, "Saya mengetahui secara persis besaran honor mubalig yang mengisi khutbah Jumat setiap pekan, saya adalah panitia Masjid Aqsha. Jika honor itu dikalikan empat dalam sebulan, masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama keluarga," jawab Husni atas pertanyaan yang dibuatnya sendiri. Ke.udian Husni melanjutkan pembicaraannya, "Kalau sesuatu itu mustahil, mengapa

kita membicarakannya? Lebih baik kita berbicara tentang hal yang mungkin," kata Husni melanjutkan diskusi tersebut. "Yang mungkin adalah mubalig profesional dalam penampilan, tetapi tetap amatiran dalam hal bayaran," lanjut Husni. Semua aspek kehidupan terus mengalami transformasi, termasuk umat sebagai objek dakwah. Oleh karena itu, mubalig sebagai subjek dakwah harus mampu membaca

tren perubahan yang terjadi. Menurut Husni, seorang mubalig masa kini tidak hanya dituntut untuk memahami ayat-ayat Qur'aniyah, tetapi juga harus mampu membaca ayat-ayat Kauniyah, yakni fenomena sosial dan perubahan zaman. "Umat saat ini sudah sangat berbeda dibandingkan satu dekade lalu," kata Husni. "Dahulu, mereka cukup mendapatkan materi dakwah yang sederhana untuk memperkuat

keyakinan. Namun, sekarang kuantum informasi mereka jauh lebih besar dan bervariasi. Dengan kemudahan akses informasi melalui media sosial, umat bisa langsung bertanya tentang persoalan agama melalui jalan pintas yang murah, cukup dengan mengetik pertanyaan ke 'Kiai Google'." Sebagai respons terhadap perubahan ini, IMMIM telah melakukan kualifikasi mubalig dan klasifikasi masjid agar

para mubalig bisa ditempatkan sesuai dengan karakteristik jamaah yang ada. Husni menekankan bahwa jamaah masa kini tidak hanya membutuhkan penguatan iman, tetapi juga wawasan yang luas. Seorang mubalig, menurutnya, harus seperti seorang pelayan di restoran yang mampu menyajikan beragam menu makanan halal, sehingga jamaah dapat memilih sesuai dengan selera dan kondisi mereka. Artinya, mubalig tidak

boleh hanya mendoktrin satu pandangan tertentu, melainkan harus mampu menyajikan beberapa pendapat dengan dalil-dalilnya yang sahih, sehingga jamaah dapat memilih pandangan yang paling relevan dan sesuai dengan hati nurani mereka. Pendekatan ini juga pernah ditekankan oleh Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. Nasaruddin Umar, yang saat diundang ke IMMIM menyampaikan bahwa "umat sekarang sudah

bergerak dari satu mazhab ke multi mazhab." Pendapat ini selaras dengan pandangan Husni bahwa mubalig harus lebih cerdas dari jamaahnya. Jika seorang mubalig justru lebih rendah tingkat keilmuannya dibandingkan jamaah, maka sebaiknya ia turun dari mimbar dan duduk bersila bersama jamaah untuk mendengar khutbah. Karater jamaah masa kini datang ke mesjid ingin mendapat ibadah plus. Jika seorang

jamaah ditanya, di mesjid mana salat tarawih malam ini? Dia jawab ingin salat di Masjid raya. Kslau pertanyaan itu dilanjutkan, kenapa di Masjid Raya, jawabynyadia, karena penceramahnya K.H. Dr (Hc) Sanusi Baco, Lc, misalnya. Jadi plusnya di sini di samping beribadah juga ingin mendapatkan santapan ruhani yang baik,^ kata Husni. Seorang mubalig masa kini harus terus belajar tanpa henti, baik melalui

ayat Qur'aniyah dalam kitab suci maupun ayat Kauniyah yang terbentang dalam kehidupan sosial dan alam semesta. Mereka harus selalu well-informed agar dapat memahami perkembangan zaman. Bukankah Allah telah berfirman bahwa hanya manusia yang beriman dan berilmu yang akan diangkat derajatnya? Oleh karena itu, untuk dapat bertahan dalam tantangan dakwah, mubalig harus memenuhi dua hal: 1. Mampu

mencerahkan umat dengan selalu memberikan nilai tambah dalam setiap ceramahnya. 2. Memahami tingkat pemahaman jamaahnya, sehingga materi dakwah yang disampaikan bisa lebih membumi, tidak hanya bersifat idealis tetapi juga relevan dan dapat diterima oleh masyarakat. Sebagai penutup, Husni berpesan bahwa mubalig tidak boleh asyik dengan dirinya sendiri. Fokusnya tidak hanya pada dirinya, tetapi lebih

kepada umat yang dihadapinya. Demikianlah beberapa pesan dari almarhum Husni Djamaluddin yang ia sampaikan dalam diskusi di DPP IMMIM pada akhir tahun 1981. Diskusi itu dihadiri oleh sejumlah tokoh, termasuk pendiri IMMIM, H. Fadeli Luran. Sayangnya, semua yang hadir dalam diskusi tersebut kini telah berpulang ke rahmatullah, termasuk Husni Djamaluddin. Hanya tinggal satu yang masih hidup, yakni K.H.

Drs. Muhammad Ahmad. Tahun Ini dianugerahi penghargaan Syakhul Mubalighin sebagai penghargaan tertinggi dari DPP IMMIM diberikan kepada orang yang berjasa mewakafkan diri sepanjang hidupnya di bidang tablig. Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan ganjaran terbaik bagi mereka atas segala amal saleh yang telah mereka lakukan semasa hidup. Amin, ya Rabbal 'Alamin. Wasalam, Kompleks

GFM, 4 Feb. 2025"