Prof. Dr. H. Ahmad M. Sewang, M.A

"DESA PAMBUSUANG DALAM LINTASAN ANTROPOLOGI SEJARAH Oleh: Ahmad M. Sewang Suatu ketika, saya mengundang Husni Djamaluddin untuk memberikan motivasi kepada para santri di Pesantren Nuhiyah, kampung saya, Pambusuang. Dalam kesempatan itu, saya juga berbagi kisah tentang sejarah antropologi kampung ini. Saya berpendapat bahwa Pambusuang pertama kali bersentuhan dengan Islam melalui jalur Islam tradisi.

Orang-orang tua di kampung pernah bercerita tentang paman saya yang hijrah ke Mekkah sekitar akhir tahun 1939. Kepergiannya dipicu oleh kesalahpahaman dalam pemahaman keagamaan, khususnya terkait tarekat, yang berujung pada pertengkaran hingga menyebabkan beliau terluka parah dan harus dirawat di rumah sakit di afdeling Mandar, Majene. Tak lama setelah peristiwa itu, beliau memutuskan untuk menunaikan

ibadah haji dengan menjual seluruh asetnya, sekaligus berniat menetap di Mekkah. Beruntung, dengan modal sosial yang dimilikinya, beliau dapat mengajar di Masjidil Haram dan memiliki banyak murid dari Indonesia, salah satunya adalah Abdullah Maratan, yang pernah berbagi cerita dengan saya. "Nampaknya, Islam mulai bergeser dari tradisi menuju keterbukaan," ujar saya kepada Husni saat itu.

Pada tahun 1973, saya melanjutkan pendidikan di SP IAIN (Sekolah Persiapan Institut Agama Islam) Alauddin Cabang Polewali, ibu kota kabupaten. Di sinilah saya memperoleh banyak informasi tentang masa lalu kampung saya, termasuk tentang seorang yang pernah menjadi rival paman saya. Alhamdulillah, hubungan kami terbuka dan tanpa dendam sejarah. Saat itu, beliau sudah berusia lanjut. Beliau adalah K.H.

Zainal Abidin, yang menjabat sebagai Kakandepag Polmas serta menjadi guru kami di SP IAIN. Hubungan kami sangat akrab, bahkan beliau mempercayai saya sebagai asistennya dalam mengajar teman-teman. Mungkin karena kemampuan bahasa Arab saya lebih baik dibandingkan teman-teman lainnya. Begitu terbukanya beliau kepada saya, hingga suatu hari beliau bercerita tentang peristiwa masa lalunya: "Suatu

ketika, saya mengadakan majelis taklim di kampungmu. Di tengah berlangsungnya majelis, pamanmu datang membawa keris dan memerintahkan agar pengajian bubar," kisahnya beliau. Peristiwa ini mencerminkan bahwa di masa lalu, praktik keberagamaan sering kali diwarnai oleh sikap eksklusif, di mana satu paham keagamaan dianggap sebagai satu-satunya jalan menuju surga, sementara paham lain dianggap harus

disingkirkan. Sekitar awal tahun 1940-an, yang menjadi imam Masjid Jami' Pambusuang adalah H. Sahbuddin, yang bergelar Nangguru Hawu. Suatu hari, beliau kedatangan tamu, seorang pimpinan agama dari Majene yang ditugaskan untuk menyampaikan khutbah di Masjid Jami'. Sebenarnya, Imam Sahbuddin enggan menerimanya karena tamu tersebut adalah seorang tokoh Muhammadiyah. Namun, dengan berat hati,

beliau akhirnya mengizinkannya. Apa yang terjadi setelah khutbah? Segera setelah sang khatib selesai, Nangguru Hawu naik mimbar dan membacakan beberapa bait kalindada (pantun) Mandar: Polei Muhammadiyah Namarrusa agama Nasiturui Maradianna sara. Mokai tia marola Imam di Pambusuang Apa tania Agamana Nabitta. Artinya: Muhammadiyah datang Bermaksud merusak agama Mereka bekerja sama dengan pemerintah

agama. Tetap teguh pendirian Imam di Pambusuang Sebab yang mereka bawa Bukan agama dari Nabi. Pada masa itu, Muhammadiyah dianggap sebagai ajaran yang tidak bersumber langsung dari agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Menurut penduduk Pambusuang. (Kisah ini diperoleh dari wawancara dengan Hj. Asia, menantu H. Sahbuddin). Namun, waktu terus berjalan, dan perubahan tak terhindarkan. Semakin panjang

rentang waktu yang kita gunakan untuk menilai, semakin banyak perubahan yang tampak. Sebaliknya, semakin pendek perspektif waktu yang digunakan, semakin kecil perubahan yang terlihat. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an, Surah Ar-Rahman: كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ ۝ وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلٰلِ وَالْاِكْرَامِ

(Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Zat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.) Jika kita melihat masyarakat Pambusuang hari ini, kita akan mendapati bahwa mereka telah melewati banyak perubahan. Keluarga-keluarga yang dahulu bertikai kini telah berdamai, bahkan menjalin hubungan kekerabatan melalui pernikahan. Generasi muda pun banyak yang menempuh studi tinggi dan

membawa pemahaman baru ke kampung, yang mungkin berbeda dengan paham orang tua mereka. Yang pasti, perubahan akan terus terjadi di masa depan. Saya berharap ada di antara mahasiswa yang menjadikan sejarah antropologi Pambusuang sebagai bahan penelitian disertasi, agar kajian ini semakin mendalam. Namun, satu hal yang sering menjadi hambatan dalam penelitian sejarah adalah jika pendekatannya dicampur

dengan sentimen sektarian. Di kampung saya dahulu orang keluar dari paham NU sama dengan keluarga dari Islam. Untuk menghindari perpecahan di antara sesama Muslim, saya telah merumuskan sebuah redefinisi Islam: "Siapa pun yang menjadikan syahadat sebagai pedoman hidupnya, ia adalah saudara seiman kita, meskipun berbeda dalam pemahaman dan praktik keagamaan." Pendapat ini sejalan dengan

pemikiran ulama besar Mesir, Yusuf Al-Qardawi, yang mengatakan bahwa perbedaan adalah sunnatullah dalam upaya fastabiqul khairat (berlomba dalam kebaikan). Barang siapa yang berpendapat bahwa kita harus seragam dalam segala hal, maka: لم يكن وقوعه (Itu tidak akan pernah terwujud dalam realitas), karena bertentangan dengan sunnatullah. Semoga kita senantiasa berada dalam kebaikan dan dapat

mengambil pelajaran dari sejarah. Wassalam, Kompleks GPM, 20 Februari 2025"