.jpeg"])
.jpeg)
"MARHABAN YA RAMADAN DI BERBAGAI TEMPAT Oleh Ahmad M. Sewang Selamat datang, bulan Ramadan! Setiap kali bulan suci ini tiba, ingatan saya melayang ke masa kecil di kampung, sekitar 60 tahun yang lalu. Betapa indahnya suasana Ramadan saat itu. Hari pertama selalu disambut dengan penuh kekhusyukan, seakan-akan kehadiran Tuhan terasa lebih dekat dari biasanya. Di sore hari, kami, anak-anak, disuruh
orang tua mencari buah tertentu untuk ditumbuk menjadi lilin, yang kemudian dinyalakan di halaman rumah menjelang Magrib. Konon, cahaya lilin itu dipercaya akan menarik malaikat agar masuk ke rumah kami. Kami tidak pernah mempertanyakannya, hanya mempercayai dan menjalankan tradisi itu dengan penuh suka cita. Malamnya, kami berbondong-bondong ke masjid untuk salat tarawih. Seusai tarawih, kami
berlomba-lomba menamatkan Al-Qur’an—bahkan ada yang khatam berkali-kali dalam satu Ramadan. Sore hari berikutnya, kami bermain dan mandi di sungai bersama teman sebaya. Ceramah Ramadan pun selalu diisi oleh penceramah yang sama setiap tahun, tetapi tetap diminati, karena yang terpenting bagi kami adalah menjalankan agama secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Sayangnya, suasana religius seperti
itu kini sulit ditemukan, seiring perjalanan waktu yang membawa banyak perubahan. Kini, saya bermukim di kota, dan cara menyambut Ramadan pun berbeda. Jika dulu kami berlomba menamatkan Al-Qur’an sebanyak mungkin, kini saya lebih menitikberatkan pada pemahaman. Saya membaca Al-Qur’an dengan terjemahan perkata, meskipun hanya bisa khatam sekali dalam sebulan. Namun, ada kepuasan tersendiri karena
lebih memahami maknanya. Salat tarawih pun berubah. Jika dulu saya mendengarkan ceramah, kini saya justru menjadi penceramah. Bahkan, sering saya bertanya kepada jamaah, “Di masjid mana Anda salat tarawih malam ini?” Mereka menjawab, “Di Masjid A, karena penceramahnya si B.” Tampaknya, sebagian jamaah tidak hanya mencari tempat untuk beribadah, tetapi juga ilmu dan pemahaman yang lebih dalam.
Lain halnya ketika saya menyambut Ramadan di negeri Kincir Angin, Belanda. Di sana, Ramadan nyaris tak berbeda dengan bulan-bulan lain. Saya tinggal di sebuah apartemen dengan tetangga dari berbagai negara—Italia, Spanyol, Tiongkok, dan lainnya—yang tentu saja tidak merasakan suasana Ramadan. Saya hanya mengetahui informasi tentang Ramadan di Indonesia melalui surat kabar yang tersedia di
Perpustakaan KITLV. Pernah suatu kali, saya terlambat sehari memulai puasa karena mengikuti pengumuman dari Indonesia, padahal di Belanda puasa sudah dimulai sehari sebelumnya. Tanpa suara azan atau lantunan ayat suci yang biasa menemani Ramadan di tanah air, ibadah di sana terasa lebih individual. Bahkan, Idulfitri saya rayakan di Kedutaan Besar Indonesia di Brussels, Belgia. Pengalaman ini
menyadarkan saya betapa Ramadan dapat dirayakan dengan cara yang berbeda di setiap tempat, tetapi esensinya tetap sama: sebuah perjalanan spiritual untuk mendekatkan diri kepada Allah. Wassalam, Kompleks GFM, Akhir Ramadan 1446 H."