.jpeg"])
.jpeg)
"PERBEDAAN PENENTUAN AWAL RAMADAN ANTARA DUNIA ISLAM BARAT DAN TIMUR Oleh Ahmad M. Sewang Saya pernah bermukim di dunia Islam Barat selama setahun penuh, tepatnya dari 9 Agustus 1993 hingga 11 Agustus 1994, di negeri "Kincir Angin," Belanda. Suasana menyambut Ramadan di sana sangat berbeda dengan di Indonesia, sebagaimana telah saya tulis sebelumnya. Terlebih lagi, saya tinggal di sebuah
apartemen yang penghuninya berasal dari berbagai negara non-Muslim, seperti Spanyol, Denmark, dan Tiongkok, yang tentu saja tidak merasakan suasana Ramadan. Informasi tentang Ramadan di Indonesia hanya bisa saya peroleh melalui surat kabar yang tersedia di Perpustakaan KITLV. Pernah suatu kali, saya terlambat sehari memulai puasa karena mengikuti sidang isbat dari Indonesia melalui surat kabar,
padahal di Belanda puasa sudah dimulai sehari sebelumnya. Peristiwa itu membawa saya berkenalan dengan Ketua ICMI Cabang Eropa, Nafham Sbhan. Dari beliaulah saya mendapatkan hadiah berupa perangkat lunak (software) yang dapat menghitung pergerakan bulan dalam satu tahun. Dengan perangkat ini, awal Ramadan dapat diketahui dengan mudah hanya dengan melihat kalender astronomi yang tersedia. Bahkan,
berbagai fenomena langit, seperti gerhana bulan dan gerhana matahari, sudah dapat diprediksi hingga ratusan tahun ke depan. Saya membawa perangkat lunak ini ke Makassar ketika pulang di Belanda dan membagikannya kepada teman-teman. Saya yakin, saat ini software tersebut sudah berkembang dengan versi yang lebih canggih. Perbedaan Metode Penentuan Awal Ramadan Dunia Islam pada dasarnya terbagi dalam
dua pendekatan dalam menentukan awal Ramadan. 1. Metode Hisab, yang umumnya digunakan di dunia Islam Barat, termasuk oleh Muhammadiyah di Indonesia. Sudah bisa ditentukan jauh sebelumnya bahkan ratusan tahun seperti gerhana bulan atau matahari. 2. Metode Rukyat, yang dianut oleh dunia Islam timur, misalnya yang tergabung dalam MABIMS (Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura). Karena harus dirukyat
dengan kasat mata, maka baru bisa ditentukan pada malam itu di saat-saat terakhir. Lalu, metode mana yang seharusnya diperpegangi? Setiap pendekatan memiliki dasar yang kuat. Para ulama sepakat bahwa awal Ramadan harus ditentukan melalui rukyatul hilal (melihat bulan sabit). Namun, terdapat perbedaan dalam memahami konsep "melihat" ini: Sebagian ulama menafsirkan rukyatul hilal secara
literal, yaitu harus melihat dengan mata telanjang atau menggunakan alat bantu optik. Inilah metode yang digunakan oleh negara-negara anggota MABIMS. Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa "melihat" bulan tidak harus secara langsung, tetapi dapat diperhitungkan melalui ilmu astronomi. Inilah pandangan yang dipegang oleh Muhammadiyah serta sebagian besar negara di dunia Islam Barat.
Perbedaan ini muncul karena adanya perbedaan dalam menafsirkan teks agama. Menurut almarhum Syekh Yusuf al-Qaradawi, perbedaan pendapat dalam hal ini merupakan bagian dari sunnatullah dalam rangka fastabiqul khairat (berlomba dalam kebaikan). Bahkan, beliau mengutip sebuah kaidah: "Barang siapa yang menginginkan bahwa kita lebih baik semuanya memiliki pendapat yang sama dalam segala hal, maka itu
sesuatu yang mustahil terjadi dalam realitas, karena bertentangan dengan sunnatullah." Maka, perbedaan ini seharusnya tidak menjadi sumber perpecahan, melainkan bagian dari keragaman dalam beribadah yang tetap berada dalam koridor syariat. Terserah metode apa yang lebih diyakini menurut kecenderungan hati dan tidak boleh seorang bisa memaksakan sedikit pun, sambil saling menghormati perbedaan
sebagai sunnatullah. Wassalam, Kompleks GFM, 1 Maret 2025"