.jpeg"])
.jpeg)
"H. Fadli Luran: Teori Keterancaman yang Membuatnya Dinamis by Ahmad M. Sewang Dalam suatu sesi Pengajian Aqsha, seorang peserta mengajukan pertanyaan menarik: Mengapa H. Fadli Luran begitu militan dalam memegang teguh agamanya dibandingkan dengan yang lain? Seorang sosiolog yang turut hadir dalam pengajian itu menjawab dengan menggunakan analisis teori keterancaman. Menurut analisanya, Fadli Luran
berasal dari Enrekang, sebuah daerah berpenduduk Muslim yang berbatasan langsung di utara dengan Tana Toraja, wilayah dengan mayoritas penduduk beragama Kristen. Dalam konteks sosial pada masanya, perbatasan ini masih belum stabil, dan ada anggapan bahwa sewaktu-waktu ancaman bisa datang dari utara. Oleh karena itu, orang Enrekang terbiasa hidup dalam kewaspadaan tinggi dan selalu siap menghadapi
potensi ancaman. Kondisi ini membentuk karakter masyarakatnya, termasuk Fadli Luran, yang tumbuh dalam lingkungan yang menuntut kesiapsiagaan dan dinamisme. Orang-orang Enrekang, dalam konteks ini, memiliki daya juang yang tinggi karena mereka merasa harus selalu siap dalam menghadapi berbagai kemungkinan. Dalam Pengajian Aqsha itu pula, saya mendalami lebih jauh konsep teori keterancaman, yang
menjelaskan bagaimana suatu kelompok atau individu menjadi lebih dinamis akibat tekanan dan tantangan di sekitarnya. Dari perspektif ini, saya kemudian menghubungkannya dengan teori lain yang saya temui di New York, Amerika Serikat—yaitu teori kebiasaan. Saya mendapatkan teori ini dari Ketua Asia Foundation, Imam Syamsi Ali. Ia mengisahkan bahwa saat terjadi serangan terhadap Menara Kembar di
Washington, hampir semua orang panik dan ketakutan. Namun, ada seorang pejalan kaki yang tetap tenang dan tidak menunjukkan kepanikan sama sekali. Setelah ditelusuri, ternyata orang tersebut berasal dari Palestina—sebuah daerah yang sudah terbiasa mengalami serangan hampir setiap hari. Bagi orang Palestina ini, peristiwa yang bagi orang lain mengejutkan dan menakutkan justru terasa seperti sesuatu
yang biasa saja. Dari dua teori ini—teori keterancaman dan teori kebiasaan—saya kemudian melakukan perbandingan antara dua negara, Brunei Darussalam dan Indonesia. Dari hasil pengamatan saya, masyarakat Indonesia tampak jauh lebih dinamis dibandingkan masyarakat Brunei. Hal ini dapat dijelaskan dari berbagai faktor: 1. Keberagaman agama dan mazhab – Indonesia memiliki populasi yang sangat
heterogen, baik dalam hal agama maupun dalam Islam sendiri yang memiliki berbagai mazhab. 2. Tantangan sosial yang lebih besar – Sebagai negara dengan pluralitas yang tinggi, Indonesia lebih sering menghadapi berbagai bentuk ketegangan sosial, yang menuntut masyarakatnya untuk lebih adaptif dan dinamis. 3. Brunei lebih homogen – Berbeda dengan Indonesia, Brunei memiliki struktur sosial yang lebih
seragam, dengan Islam sebagai agama resmi negara dan hanya mengakui mazhab Syafi'i sebagai mazhab utama. Dengan demikian, baik teori keterancaman maupun teori kebiasaan menunjukkan bahwa pengalaman hidup yang penuh tantangan dapat membentuk karakter seseorang atau suatu kelompok menjadi lebih dinamis dan responsif terhadap perubahan. Wassalam, Kompleks GFM, 17 Maret 2025"